Keadaan setelah dua bulan berdirinya Republik Indonesia dapat kita gambarkan seperi berikut:
Harapan dan keinginan untuk serta akan dapat mempertahankan kemerdekaan kita, umum ada pada segala lapisan bangsa kita. Belum pernah di tahun-tahun yang lalu gerakan kemerdekaan memuncak seperi sekarang. Terutama pada pemuda, tampak bahwa segenap jiwanya dipasangkan pada perjuangan kemerdekaan kita. Akan tetapi, lambat laun rakyat banyak di desa dan di kota yang memperhebat perjuangan kita. Rakyat jelata turut tergolak ke dalam gerakan kemerdekaan, didorong oleh kegelisahan yang disebabkan oleh suasana masyarakatnya. Bagi rakyat jelata nyata bahwa semboyan “merdeka” itu tidak saja berari Negara Indonesia yang berdaulat, pun tidak pula saja bendera merah-puih baginya berari simbol persatuan dan cita-cita bangsa dan negara, akan tetapi terutama kemerdekaan dirinya sendiri dari sewenang-wenang, dari kelaparan dan kesengsaraan, dan merah-putih baginya terutama simbol perjuangannya itu, yaitu perjuangan kerakyatan. Ucapan- ucapan kegelisahan rakyat yang kerapkali merupakan perbuatan yang kejam serta pelanggaran hak milik dengan kekerasan, dapat dimengeri, jika dicari sebab-sebabnya lebih dalam. Selama iga setengah tahun penjajahan Jepang, sendi-sendi masyarakat di desa diobrak-abrik serta diruntuhkan dengan kerja paksa, dengan penculikan
orang desa dijadikan romusha jauh dari tempat inggalnya, dijadikan serdadu, dengan penyerahan hasil bumi dengan paksa, dengan penanaman hasil bumi dengan paksa, dengan sewenang-wenang yang iada batasnya. Demikian pula di antara rakyat jelata di kota, keidakpasian di dalam kedudukannya, menyebabkan kegelisahan. Beribu-ribu orang yang sebelum Jepang datang, mempunyai pencaharian sebagai kaum buruh, kehilangan mata pencahariannya. Berpuluh ribu orang- orang desa melarikan dirinya ke kota untuk meluputkan diri dari sewenang-wenang serta kelaparan yang ada di desa, berpuluh ribu pula orang pelarian romusha, heiho dan kerja paksa lainnya menambah bayaknya jiwa di
kota yang idak mempunyai pencaharian yang tentu. Segala ini menyebabkan bahwa kegelisahan di dalam masyarakat di kota terus memuncak. Bahaya segala ini akan meletus di dalam pemberontakan dan kerusuhan terus bertambah besar untuk Jepang. Setelah Jepang rubuh dan ia bersedia untuk ditawan, sehingga kekuasaan pemerintahnya menjadi lemah, bahaya akan meledaknya tenaga yang terhimpun di dalam masyarakat itu, terus bertambah besar. Untuk menghindarkan bahaya itu macam-macam muslihat Jepang yang digunakannya; antara lain adalah diikhiarkannya untuk mengalirkan kegelisahan orang itu terhadap golongan-golongan lagi.
Kebencian yang tambah lama tambah besar terhadap jepang diputarkan oleh Jepang dengan agitasi dan propagandanya terhadap bangsa kulit puih, orang Tionghoa, pangrehpraja dan selanjutnya tak dapat kita mungkiri, bahwa propaganda dan agitasi Jepang itu banyak pengaruhnya dan berhasil juga baginya. Selama tiga setengah tahun negeri kita dikuncinya dari luar negeri, sehingga kita idak mengetahui keadaan di luar dan ia leluasa menjual dustanya yang menjadi dasar propagandanya. Tatkala kebencian rakyat kita terhadap Jepang telah umum dan di sana-sini imbul kerusuhan, digunakannya perasaan kebangsaan kita untuk mendinginkan kepanasan terhadap dia. Dibentuknya Angkatan Muda untuk memperhebat agitasi kebangsaan, supaya dapat menghindarkan bahaya sosial yang mengancamnya. Agitasi kebangsaan itu memang memuaskan untuk pemuda-pemuda serta kaum terpelajar kita yang berada di dalam kegelisahan dan kebimbangan. Pada umumnya adalah gerakan rahasia Jepang seperi Naga Hitam, Kipas Hitam, dan lain- lain buatan kolone kelima Jepang, buatan Kenpetai, Kaigun dan lain-lain sangat menunjukkan kegiatannya terhadap pemuda-pemuda kita dan memang ada juga dapat mempengaruhi jiwanya, meskipun kerapkali pada lahirnya umum pemuda kita membenci Jepang. Dengan idak sadar, biasanya jiwanya terpengaruh juga oleh propaganda Jepang itu dan ingkah lakunya, hingga cara berpikir, adalah kerapkali menyonto-menyonto Jepang. Kegiatan jiwanya terutama terlihat sebagai kebencian terhadap bangsa-bangsa asing, yaitu sebenarnya yang ditunjukan oleh Jepang untuk dimusuhi, bangsa Sekutu, bangsa Belanda, bangsa Indo (bangsa kita sendiri), Ambon, Menado, kedua-duannya bangsa kita sendiri, Tionghoa, pangrehpraja; maksudnya tak lain, seluruh dunia boleh dibenci asalkan jangan membenci Jepang. Demikian keadaan sebelum pernyataan Indonesia Merdeka, demikian pula bahan-bahan untuk mendirikan perumahan Indonesia Merdeka. Tatkala Negara Indonesia Merdeka didirikan rata-rata orang yang mengemudikannya, adalah bekas pegawai dan pembantu Jepang. Hal ini menjadi halangan untuk membersihkan masyarakat kita dari penyakit Jepang yang berbahaya untuk jiwa pemuda kita itu. Pendidikan poliik yang di waktu jaman jajahan Belanda telah begitu ipis, di dalam jaman Jepang sama sekali idak ada, jiwa pemuda dibentuk untuk dapat menerima perintah saja, untuk tunduk dan mendewa-dewakan, seperi orang Jepang tunduk kepada Tenno dan mendewa-dewakannya. Demikian pula pemuda kita hanya diajar tunduk pada pemimpin dan mendewa-dewakannya, tidak diajar dan tidak cakap berindak dengan bertanggungjawab sendiri. Kesadaran revolusioner yang harus berdasar pada pengetahuan kemasyarakatan, tipis benar. Oleh karena itu, kecakapannya untuk menyusun dan mempergunakan kemungkinan yang ada di dalam masyarakat, sangat kecil. Oleh karena itu pula, maka senjata dan alat perjuangan yang seharusnya dapat dibentuk dari tenaga yang terhimpun dalam masyarakat sebagai kebencian terhadap penindasan dan pemerasan Jepang, tidak terbentuk. Segala kegelisahan yang ada di dalam masyarakat dijuruskan oleh pemuda-pemuda kita, pada kebencian terhadap bangsa-bangsa asing yang hidup di dalam negeri kita, pada berbaris-baris dengan tombak yang sekarang juga menjalar menjadi pembunuhan dan perampokan serta rupa- rupa kegiatan lain lagi, yang diilik dengan kaca mata perjuangan kemasyarakatan idak berari atau adalah reaksioner, seperi tiap-tiap tindakan fasisis itu selamanya reaksioner. Terlambat datangnya balatentara Sekutu untuk mengganikan balatentara Jepang yang tak berkemauan lagi untuk memerintah, sebenarnya memberikan kesempatan yang baik bagi pemerintahan Negara Republik Indonesia untuk menyusun kekuasaan Republik Indonesia. Akan tetapi hal ini tiada tercapai seperi seharusnya. Sebabnya yang pertama ialah yang mengendalikan pemerintahan Negara Republik Indonesia bukan orang yang berjiwa kuat. Kebanyakan dari mereka telah terlalu biasa membungkuk serta berlari untuk Jepang atau Belanda, jiwanya bimbang dan nyata idak sanggup berindak dan bertanggungjawab. Sebab yang kedua adalah bahwa banyak antara mereka merasa berhutang budi kepada Jepang, yang mengurniakan persediaan Indonesia Merdeka pada mereka. Akhirnya dianggapnya, bahwa ia menjadi pemerintah, ialah oleh karena bekerja bersama dengan Jepang.
0 Komentar