PANTULAN KULTUR RENAISSANCE
Para penguasa dalam kerajaan-kerajaan di Asia Timur, termasuk raja-raja kerajaan Jawa dahulu, masih mempertahankan perlengkapan magis-religius pada kekuasaan yang mereka pegang, di belahan bumi sebelah Barat pada masa Machiavelli hidup, kekuasaan yang berwajah dua (mempesona dan menakutkan itu) sudah mengalami proses sekularisasi. Legitimasi religius sebagai model legitimasi kekuasaan yang paling kuno membuka peluang bagi penguasa untuk menjalankan kekuasaannya melampaui penilaian moral. Dengan perlengkapan magis-religius itu, penguasa tidak dilihat sebagai subyek yang bertanggung jawab atas tindakantindakannya melainkan hanya sebuah wadah yang digerakkan oleh kekuatan Ilahi. Dan karena sang penguasa hanyalah wadah dari yang Ilahi maka rakyat atau warga negara tidak dapat meminta pertanggungjawaban moral dari penguasa. Masyarakat tinggal menerima apa yang dikehendaki oleh penguasa, tanpa sikap menuntut dan tanpa hak untuk mendengarkan. Nasib rakyat tergantung dari belas kasih sang penguasa. Kalau rasa belas kasih raja besar maka nasib rakyat selamat, kalau rasa belas kasihnya sedikit maka rakyat celaka dan melarat.1 Machiavelli hidup dalam suatu tradisi kekuasaan yang sudah mengalami pendobrakan legitimasi religius. Selubung gaib yang selama berabad-abad menutup wajah raja sebagai manusia biasa menjadi wajah dewa atau wakil dari dunia gaib, sudah dikuak dan wajah penguasa menjadi wajah seorang manusia biasa kembali. Lalu timbul pertanyaan baru tentang kekuasaan, yakni, atas dasar apa seorang penguasa mempunyai wewenang untuk memberi perintah dan menghukum warga yang menolak perintahnya? Machiavelli mewarisi paham kekuasaan dari tradisi agama Yahudi-Kristen yang menolak identifikasi penguasa dari wilayah Ilahi dan menempatkannya dalam tata tertib kehidupan manusia biasa, yang tunduk pada kehendak Tuhan dan dapat dikritik serta meminta pertanggungjawaban dari segi moralitas. Dan dari tradisi kekristenan berlaku sikap dasar terhadap segala kekuasaan duniawi, yakni bahwa manusia harus lebih taat kepada Allah (menurut tuntutan hati nuraninya) daripada kepada manusia (Kisah Para Rasul 5.3).
Prinsip politik ini dihayati dan diyakini oleh gereja Katolik purba yang bertahan dalam penganiayaan para penguasa Romawi selama tiga abad pada awal perkembangan komunitas kristiani. Pendeknya, monoteisme baik yang menggejala pada agama Kristen maupun kemudian pada agama Islam kelak merupakan dasar sekularisasi kekuasaan. Selain tradisi kekuasaan Yahudi-Kristen, Machiavelli juga dipengaruhi oleh tradisi kekuasaan Yunani, yang juga mengalami pendobrakan legitimasi religius. Kekuasaan bagi masyarakat Yunani, yang menjadi akar kultur kekuasaan Barat kemudian, merupakan wadah organisasi rasional masyarakat yang dikelola untuk mencapai kepentingan bersama. Orang Yunani vang hidup enam ratus tahun sebelum Masehi sudah mengajukan pertanyaan, yang baru diajukan oleh para perintis kemerdekaan Indonesia pada awal abad XX Masehi (ketinggalan 26 abad), yakni apa yang lebih baik bagi suatu negara, adanya pemimpin negara yang baik, ataukah suatu sistem hukum yang baik? Pertanyaan ini bisa diajukan dengan asumsi bahwa si penanya melihat kekuasaan dari segi rasional-fungsional, sebuah pertanyaan yang memang sangat modern, karena masih dipertanyakan oleh para sosiolog modern pengikut aliran fungsionalisme-parsonian pada akhir tahun lima puluhan lalu. Plato, filsuf Yunani, melihat kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan. Sejak itu masalah keadilan selalu dihadapkan dengan kekuasaan dan dengan demikian filsafat politik dapat dibahas secara rasional. Pendobrakan legitimasi magis-religius yang ketiga terjadi dalam masa Kekaisaran Roma di tanah kelahiran Machiavelli, yakni kekuasaan akan menjadi sarana yang efektif untuk menegakkan keadilan, melalui jalur-jalur suatu sistem hukum yang diberlakukan untuk mengontrol kesewenang-wenangan praktek kekuasaan atas hak-hak asasi manusia kongkret. Dan ketika Machiavelli memainkan peranan sebagai politikus, pentas kekuasaan yang dinaiki nya sudah dibersihkan dari legitimasi religius dan tinggal legitimasi moral yang dihadapinya. Dia tidak mengira bahwa filsafat politik yang ditulis pada bukunya Sang Penguasa merupakan suatu pendobrakan terhadap legitimasi moral, sehingga wajah penguasa bukan saja wajah seorang yang bersih, suci, murni, sopan dan feminin, tetapi wajah penguasa yang licik, kotor, berdarah dan garang seperti layaknya wajah manusia yang penuh ambisi, yang senantiasa gelisah dan resah sampai seluruh ambisinya terwujud menjadi kenyataan. Motivasi orang Barat dalam melibatkan diri dalam Perang Salib tidak seluruhnya bersifat religius murni; ingin membela Tanah Suci dari tangan para penganut Islam, dengan tuntutan yang sama. Motivasi religius bercampur aduk dengan motivasi nonreligius seperti keinginan untuk berpetualang ke negeri Timur, mencari peluang untuk meningkatkan kegiatan dagang rempah-rempah, sutera dan barang lain yang datangnya dari Timur. Dengan demikian pelabuhan-pelabuhan Jazirah Italia mulai bangkit lagi dari tidurnya semenjak Kekaisaran Romawi runtuh pada Abad V. Perdagangan dan pelayaran sesudah Perang Salib berkembang pesat. Kota-kota pelabuhan seperti Genoa, Venesia mendapat monopoli perdagangan. Di kota-kota itu mulai berkecambah akar-akar kapitalisme modern, yang kemudian beralih ke Spanyol, lalu bergeser ke utara Antwerpen, Amsterdam, London. Dan sekarang bergeser lagi ke New York dan Tokyo. Karena monopoli maka terjadi penumpukan kekayaan pada beberapa keluarga pedagang yang kaya, yang kemudian menjadi pemilik bank dan pemilik modal. Dari keluargakeluarga ini timbul minat terhadap kesenian alternatif, yang ketika itu, didominasi oleh kesenian yang menimba inspirasi dan ekspresi dari agama Kristen. Pertumbuhan kapitalisme awal turut membantu perkembangan kebudayaan Renaissance, yang dapat disaksikan pada bidang kesenian, kesadaran nasional dan kesadaran tentang apa artinya warga negara itu. Bangsa Italia merupakan bangsa yang paling penting pada awal penyebarluasan cita-cita Renaissance sebagai suatu gerakan intelektual dengan semangat humanistis. Gerakan intelektual ini tumbuh sebagai suatu semangat zamannya, yang perlahan-lahan menjiwai seluruh masyarakat Barat kemudian. Sebuah semangat yang terungkap pada usaha-usaha menggali kembali akar-akar kebudayaan Barat yang berasal dari Yunani dan Romawi dalam rangka menemukan identitas dirinya. Banyak penganut aliran humanisme seperti Erasmus, yang melihat kebudayaan Yunani sebagai puncak kebudayaan Barat, yang semasa hidupnya dinilai berada dalam masa kemerosotan. Tetapi di samping menoleh ke masa silam untuk menemukan identitas diri, semangat Renaissance juga mendorong manusia Barat masa itu untuk lebih maju dengan berpandangan jauh ke depan.
BERSAMBUNG.....
0 Komentar