KATA PENGANTAR
Ketika Suharto jatuh dari kekuasaannya pada 1998 saya tidak membayangkan bahwa satu dekade kemudian pemerintah akan terus melarang buku-buku yang tidak sesuai dengan propaganda rezim yang lalu. Rezim Suharto mengklaim bahwa PKI bertanggung jawab atas G-30-S; partai itu memimpin atau mengorganisasikan G-30-S. Klaim serupa itu dapat diterima sebagai sebuah hipotesa tetapi kita seharusnya berharap diberi sejumlah bukti sebelum kita menerimanya sebagai kesimpulan. Kita juga harus berharap ada rumusan yang lebih persis. PKI adalah sebuah partai dengan anggota kurang lebih tiga juta orang. Kalau pemerintah berniat bersikukuh bahwa “PKI” mengorganisasikan G-30-S, maka pemerintah harus mampu menjelaskan siapa di dalam PKI yang mengorganisasikan gerakan tersebut. Apakah tiga juta anggota partai secara keseluruhan bertanggung jawab? Atau kah sebagian? Atau hanya pimpinan partai? Apakah pihak pimpinan itu Central Comite atau Politbiro? Sepanjang masa kepemimpinan Suharto pemerintah tidak pernah dengan telak mengidentifi kasi siapa di dalam PKI yang bertanggung jawab. Malahan, dengan secara terus-menerus menggunakan istilah “PKI” masyarakat digiring untuk percaya bahwa bukan hanya seluruh tiga juta anggota partai yang bertanggung jawab, tetapi juga siapa pun yang berhubungan dengan partai, seperti para anggota organisasi-organisasi sealiran (seperti Lekra), bertanggung jawab. Dokumen-dokumen internal rezim Suharto lebih terus terang. Kebetulan saya menemukan buku yang ditulis Lemhanas pada 1968 untuk pejabat-pejabat pemerintah yang persis mengajukan pertanyaan - pertanyaan di atas. Buku 80 halaman ini ditulis dalam bentuk tanya-jawab. Berikut satu bagian tentang tanggung jawab “PKI”:
Pertanyaan: Apakah benar bahwa G-30-S/PKI yang menggerakkan adalah PKI dan apakah setiap anggota PKI tentu terlibat dalam G-30-S/PKI?
Jawab: Benar
a. bahwa G-30-S/PKI digerakkan oleh PKI telah dapat dibuktikan baik secara fakta maupun secara hukum di depan sidang-sidang Mahmilub yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tokoh-tokoh G-30-S/PKI.
b. Seluruh anggota PKI dapat dianggap terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung (setiap orang berkewajiban melaporkan pada penguasa bila ia mengetahui bahwa suatu kejahatan akan dilakukan dan juga sesuai dengan prinsip organisasi PKI bahwa keputusan pimpinan partai, mengikat seluruh anggota).
Saya tidak puas dengan kedua poin jawaban itu. Poin pertama, persidangan-persidangan Mahmilub tidak membuktikan bahwa PKI mendalangi G-30-S. Kesaksian-kesaksian terdakwa dan saksi-saksi merupakan timbunan ketidakajegan. Para penuntut tidak mengajukan bukti-bukti tandas kesalahan “PKI” dan para hakim tidak membutuhkannya; mereka memulai prosiding peradilan dengan kepercayaan (yang telah dipropagandakan Angkatan Darat) bahwa “PKI” bersalah. Seperti diamati Harold Crouch saat mengulas beberapa berkas rekama persidangan Mahmilub pada awal 1970-an, orang dapat dengan mudah menyimpulkan dari berkas-berkas tersebut bahwa sekelompok perwira Angkatan Darat yang tidak puas memimpin G-30-S dan mengajak beberapa pimpinan PKI untuk membantu mereka. Poin kedua jawaban Lemhanas sama mudah disangkal. Tuduhannya adalah bahwa seluruh tiga juta anggota partai mengetahui tentang G-30-S sebelumnya dan bersalah karena pengabaian (“tidak melaporkan pada penguasa”). Tuduhan ini tidak mungkin benar: saluran-saluran informasi di dalam partai tidak sedemikian ketat sehingga tiga juta orang dapat mengetahui sesuatu yang orang lain, termasuk agen-agen intelijen kunci di dalam Angkatan Darat, tidak tahu. Selain bersalah karena pengabaian, mereka bersalah karena keterkaitan; sebagai anggota partai, mereka bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil para pimpinan (“keputusan pimpinan partai mengikat seluruh anggota”). Itulah prinsip kesalahan kolektif – sebuah prinsip yang sudah ditolak oleh semua negara di dunia berdasarkan rule of law. Sebelum 1965 pemerintah Indonesia tidak pernah menimpakan kesalahan kepada suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan. Kaum nasionalis yang berjuang untuk kemerdekaan pada 1945-49 tidak membunuh orang-orang Belanda hanya karena mereka orang Belanda. Setelah pemberontakan PRRI/Permesta pada akhir 1950-an pemerintah Sukarno melarang PSI dan Masjumi karena pemimpin-pemimpin kedua partai mendukung pemberontakan-pemberontakan tersebut. Tetapi pemerintah Sukarno tidak menyatakan bahwa semua anggota kedua partai adalah pengkhianat; pemerintah tidak menahan dan/atau membunuh orang hanya karena mereka anggota PSI atau Masjumi. Sukarno mengampuni pemberontak-pemberontak Darul Islam orang-orang yang memang mengangkat senjata untuk melawan pemerintah kecuali pimpinan-pimpinan puncaknya. Bayangkan seandainya prinsip kesalahan kolektif diterapkan pada anggota-anggota Golkar dewasa ini: haruskah setiap anggota Golkar pada masa Orde Baru diminta bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan Suharto? Satu aspek yang tidak bermanfaat dalam debat tentang G-30-S di Indonesia adalah kecenderungan untuk menggolongkan posisi apapun apakah sebagai pro-PKI atau anti-PKI. Siapapun yang tidak menyetujui penahanan dan pembunuhan massal atau menunjukkan simpatiterhadap tahanan politik dianggap sebagai pendukung PKI. Pipit Rochiat keberatan dengan kecenderungan ini dalam esai yang ditulisnya pada 1984 “Saya PKI atau Bukan PKI?.”3 Menciptakan dikotomi serupa itu sama dengan mengabaikan kemungkinan posisi seperti yang diperlihatkan Rochiat, yaitu tidak membela aksi-aksi PKI sebelum 1965, tidak juga membenarkan kekerasan massal yang diarahkan kepada PKI setelah G-30-S. Kekerasan tersebut mencerminkan bencana kemanusiaan. Saya dapat memahami seandainya seseorang mengambil sikap antagonistik terhadap PKI sebelum 1965: PKI adalah partai yang berniat mendirikan negara satu partai, yang dipimpin oleh orang-orang yang berbicara dan menulis secara dogmatis dan berdasarkan rumus-rumus baku, yang menggalang pengikut-pengikutnya untuk mengintimidasi organisasi-organisasi pesaingnya. Tapi saya tidak dapat mengerti bagaimana orang dapat membenarkan cara partai tersebut ditindas: kebohongan-kebohongan propaganda negara untuk memicu kekerasan, penangkapan massal tanpa dakwaan, interogasi dengan penyiksaan, penahanan berkepanjangan tanpa pengadilan, penghilangan paksa dan pembunuhan kilat. Sekarang, setelah 40 tahun berlalu, kita seharusnya sudah mampu berhenti berpikir semata-mata dalam kerangka dikotomis tentang peristiwa-peristiwa tersebut, seakan-akan tiap kritik terhadap kisah resmi rezim Suharto hanya dapat didorong oleh kecintaan terhadap PKI. Sudah saatnya pula untuk berhenti berpikir mengikuti stereotip-stereotip basi. Sepanjang kekuasaan Suharto PKI digambarkan sebagai momok jahat sehingga tidak mungkin memahami bagaimana partai itu pernah menjadi demikian populer, dengan jutaan anggota dan simpatisan. Bagaimana mungkin sebegitu banyak orang Indonesia dihujat sebagai iblis? Buku ini ditulis berdasarkan anggapan bahwa anggota-anggota PKI sebenarnya manusia, bukan setan, dan memiliki karakter moral yang tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang-orang lain di Indonesia. Jika kita bersedia berpikir jernih tentang pertanyaan siapa yang bertanggung jawab atas G-30-S maka kita harus menelisik apa yang sesungguhnya terjadi pada awal Oktober 1965. Benarkah gerakan itu merupakan pemberontakan setiap orang di dalam PKI? Benarkah gerakan itu merupakan percobaan kudeta? Rezim Suharto bersikukuh bahwa G-30-S adalah keduanya: pemberontakan dan percobaan kudeta.
0 Komentar