Tan Malaka (1946) (Pidato dalam Kongres Persatuan Perjuangan tanggal 4-5 Januari 1946)
Lebih dahulu saya minta pada saudara sekalian sekejap berdiri, memperingati arwahnya rakyat dan pahlawan Indonesia, yang sudah meninggalkan kita dalam perjuangan yang maha dahsyat ini, dan memberikan warisan kepada kita supaya meneruskan pekerjaanya. Pokok pembicaraan sekarang ialah: situasi politik luar dan dalam Indonesia. Saudara sekalian! Jikalau kita mau menanam satu pohon, maka lebih dahulu kita cari bibit yang bagus, tanah yang cocok dan hawa yang sesuai. Bibit yang sebaik-baiknya pun kalau tidak disertai oleh tanah yang cocok dan iklim yang sesuai,tidak akan tumbuh menjadi pohon. Demikian juga haluan kita! Kalau haluan itu tidak cocok dengan keadaan di dalam dan di luar maka ia akan patah di tengah jalan atau gagal sama sekali. Haluan kita serta cara kita bekerja, mesti kita ukur dengan kekuatan kita, baik dari dalam ataupun dari luar. Kemudian keadaan luar dan dalam itu kita cocokkan dengan haluan kita; yaitu: kemerdekaan. Demikianlah kita membentuk persatuan yang kita butuhkan dan organisasi yang cocok dengan keadaan di dalam dan di luar negeri. Apabila organisasi kita, persatuan kita dan haluan kita sudah cocok dengan keadaan di dalam dan di luar negeri kita, maka barulah kita berharap, bahwa kelak usaha kita akan berhasil. Dengan iman yang teguh tegap hati yang tetap tenang kita boleh melaksanakan haluan kita tadi. Tidak ada manusia yang adil akan menyesali paham dan perbuatan kita. Tak ada pula sesuatu kodrat yang akan merintangi kelangsungannya usaha kita. Anak cucu kita kelak akan mewarisi apa yang akan kita tinggalkan itu, sempurna atau sebagian jaya, dengan iman yang lebih walaupun kita sudah insyat akan segala-gala meskipun sudah bersatu padu atas satu organisasi yang berdisiplin laksana baja, tetapi baru sampai di tengah jalan kita sudah patah hati dan pecah belah, maka akan sia-sialah semua pekerjaan kita selama itu tadi. Anak cucu kita akan mengutuki kita sebagai penghianat paham dan negara kita sendiri atau sedikitnya akan menjauhi kita sebagai manusia yang lemah tak berwatak. Semuanya ini adalah keyakinan saya sendiri. Saya pikir keyakinan ini boleh dibuktikan dengan sejarah negara manapun juga dalam waktu manapun juga. Kembali saya sekarang kepada pokok perkara ialah menguraikan situasi politik luar dan dalam negara. Saya mulai dengan suasana politik luar negara. Bukankah negara kita ini bagian dari dunia luar? Bukankah pula dunia luar itu lebih besar dari negara kita? Bukankah akhirnya politik dunia itu bisa sama sekali menghambat atau menghalang-halangi politik negara kita sendiri? Hari depan kita adalah bergantung kepada keadaan sekarang. Seterusnya pula, keadaan sekarang berseluk beluk dengan keadaan lampau.
Marilah kita tinjau! Marilah kita sedikit surut ke belakang sejarah! Ke tahun 1918, ialah perjanjian Versailes. Pada waktu itu dunia sedang gemuruh. Satu negara besar dan baru dalam di segala-gala timbul, ialah Soviet Rusia. Pada zaman itu saya masih muda, masih berlajar di Eropa barat. Dalam usia “Sturm und Drangperiode” itu, dalam usia sedang bergelora itu saya di londong topan yang bertiup dari Eropa Timur itu. Dunia Barat sendiri pada masa itu seakan-akan mengikuti Soviet Rusia. Dari dunia Eropa Timur itulah saya mendapatkan semua ilham dan petunjuk yang saya rasa perlu buat perjuangan politik, ekonomi, dan sosial kita. Walaupun pasang revolusi yang dari Timur mengalir ke Barat Eropa itu lambat laun susut kembali sampai ke Negara Rusia saja, tetapi tiadalah padam-padamnya ilham dan petunjuk yang saya peroleh dari Rusia dimana usia bergelora tadi. Berdasarkan petunjuk yang saya peroleh dari Soviet Rusia itulah saya sekarang melangkahi sejarah dengan kecepatan raksasa. Dari tahun 1918-1923, lebih kurang dalam 5 tahun itu, keadaan politik-ekonomi dan sosial dunia kapitalisme seakan-akan tak bisa diperbaiki lagi. Seakan-akan kapitalisme dunia itu mau roboh. Tetapi dari tahun 1924-1929, kurang lebih dalam 5 tahun pula, dunia kapitalis mulai bangun kembali. Mulanya perlahan-lahan. Kemudian cepat demi cepat sampai produksi itu bisa di puncak. Tiba-tiba timbullah krisis, lebih hebat dari yang sudah-sudah. Dahulu kita musimnya krisis itu dianggap sekali 10 tahun. Tetapi rupanya karena kodrat mesin menghasilkan sudah berlipat ganda maka musim itu kembali sekali 5 tahun saja. Sebabnya timbul krisis itu boleh saya ringkaskan: Dalam dunia kapitalistis cuma beberapa biji manusia yang memiliki harta pencaharian, yang berupa tanah, pabrik dan tambang serta mengurus hasil buat masyarakat seluruhnya. “Makin banyak saya menghasilkan” demikianlah pikirannya si Kapitalis, “makin murah” jualan barang saya. Ini berarti makin lekas dapat saya gulingkan saingan saya, yang tak bisa menjual barangnya semurah barang saya. Tetapi kapitalis lain ialah teman seperjuangannya berpendapat sedemikian pula. Begitulah tiba-tiba saja barang membanjiri pasar, melimpah di pasar dan jatuh harganya sampai jatuh di bawah ongkos. Karena jualan tiada lagi menutupi ongkos, maka tuan pabrik seorang demi seorang terpaksa menutup pabriknya. Dengan begitu kaum pekerja terpaksa disuruh pulang. Pengangguran bersimarajalela dan krisis mengamuk kiri kanan. Demikianlah ringkasnya gambaran dunia pada tahun 1929. Negara kapitalis mulai goncang lagi sampai ke tiang dan dasarnya.
0 Komentar