Abu Hamid Al-Gazali dilahirkan pada pertengahan abad kelima Hijriah, tepatnya pada 450 H, di Tus, sebuah kota di Khurasan. Tidak berselang lama, ayahnya meninggal dunia. Pada masa kecil, al-Gazali hidup dalam kemiskinan di bawah bimbingan seorang sui, yang kelak memasukkannya kesalah satu sekolah penampungan anak anak tidak mampu yang memberikan jaminan kebutuhan hidup. Di tanah kelahirannya, Tus, al-Gazali belajar sejumlah ilmu pengetahuan. Setelah itu, ia pergi ke Jurjan, lalu ke Naisabur, pada saat Imam al-Haramayn “Cahaya agama” al-Juwaini menjabat sebagai Kepala Madrasah Nizamiyyah. Di bawah asuhan al-Juwaini, al-Gazali belajar ilmu ikih, ushul, mantiq, dan kalam, hingga kematian memisahkan keduanya, yaitu al-Juwaini meninggal dunia. Pada 478 H, al-Gazali keluar dari Naisabur menuju Mu’askar. Ia menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nizamiyyah di Baghdad pada 484 H. Di sini al-Gazali mencapai puncak prestisius karier keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus ulama terkemuka.
Karena suatu persoalan, ia keluar dari Madrasah Nizamiyyah menuju pengasingan di padang pasir selama sembilan tahun. Dalam rentang waktu itu, ia berkunjung ke Syam, Hijaz, dan Mesir, kemudian kembali ke Naisabur. Setelah itu, ia kembali lagi ke Tus hingga menghembuskan napas terakhirnya pada 14 Jumadill Akhir 505 H, al-Gazali pergi meninggalkan alam fana ini, namun seolah-olah mengatakan ungkapan senada dengan yang pernah dilontarkan oleh Francis Bacon, ilsuf Inggris (w. 1626 M): ‘’Aku menghadapkan rohku ke haribaan Tuhan. Meski jasadku dikubur dalam tanah, namun aku akan bangkit bersama namaku pada generasi-generasi mendatang serta pada seluruh umat manusia.” Al-Gazali hadir saat dunia Islam diselimuti oleh silang pendapat dan pertentangan. Masing-masing kelompok, aliran, dan faksi mengklaim diri mereka sebagai yang paling benar. “Masing-masing kelompok bangga dengan anutannya sendiri.” Jika pandangan aliran-aliran yang ada tidak mungkin semuanya benar karena masing-masing berseberangan secara diametral dan pula karena adanya sabda Nabi Muqammad Saw. yang menyatakan, “Umatku akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang selamat darinya adalah satu golongan,” dan jika al-Gazali amat besar perhatiannya terhadap keselamatan di akhirat dan juga sangat khawatir terhadap buruknya siksaan serta jeleknya tempat kembali, lalu apa yang akan dia lakukan? Tak diragukan bahwa mengikuti satu golongan tertentu tanpa melakukan penelitian mendalam adalah tindakan serampangan dan merupakan sikap taklid. Sementara kemantapan hati menuntut kajian yang lebih jauh dan mendalam disertai kritisisme yang tajam dan benar, sebab persoalannya menyangkut kebahagiaan abadi atau penderitaan tanpa akhir. Inilah yang dilakukan al-Gazali. Ia menegaskan:
“Perbedaan manusia mengenai agama, aliran, dan keragaman para imam mazhab adalah samudra yang sangat dalam, yang telah menenggelamkan banyak orang dan hanya sedikit orang yang bisa selamat. Sejak memasuki usia balig dalam gejolak muda, saya telah melompat ke kedalaman samudra ini. Saya berenang seperti seorang pemberani, bukan seperti pengecut, menyelam dan memasuki setiap ruangnya yang diselimuti kegelapan, lalu saya meneliti berbagai persoalan dan kerumitan serta menggali problema akidah setiap aliran dan menyingkap rahasia setiap kelompok dan mazhab. Semuanya dilakukan dalam upaya membedakan secara gamblang antara yang menyuarakan kebenaran dan kebatilan, antara penyebar ajaran yang asli dan yang palsu. Saya menyelami doktrin kaum Batiniyyah karena tertarik untuk menyingkap kedalaman aspek batinnya. Saya mendalami doktrin Zahiriyyah untuk mengukur kemampuan pandangannya yang berdasar pada aspek lahir. Saya tidak mengarungi ilsafat kecuali karena saya ingin mengetahui hakikat kebenaran ilosoisnya. Saya merambah dunia teologi (kalam) karena ingin tahu puncak kecanggihan logika dan pola-pola debat yang digunakannya. Saya memasuki dunia tasawuf karena ingin tahu rahasia kesuian. Saya mencermati para ahli ibadah karena ingin melihat apa yang mereka peroleh dari ibadah yang mereka lakukan. Saya mengenali orang-orang zindiq dan ateis (mu’attilah) untuk meneliti lebih jauh tentang sesuatu yang ada di balik keyakinannya agar bisa mengetahui faktor dan sebab apa yang menggiringnya pada keyakinan dan sikap tersebut.
0 Komentar