Karenanya, tidak mengherankan jika orang-orang Kristen yaitu masyarakat Indonesia yang telah begitu mendalam terilhami dengan konsep sekular, negara modern sebagaimana dilambangkan oleh sistem politik Barat melihat Departemen Agama hanya sekadar bentuk lain dari kesadaran yang diam-diam bahwa Islam adalah agama negara Republik ini. Karena itu berdirinya De partemen ini adalah untuk mengcounter konsep negara yang berda sarkan Pancasila. Dalam hal ini, Walter Bonar Sidjabat, salah satu intelektual Protestan terkemuka Indonesia, berkenaan dengan berdirinya Departemen Agama ini menyatakan:
Fakta ini membawa kita pada sebuah observasi bahwa berdirinya Departemen Agama adalah untuk mempersiapkan mayoritas rakyat Indonesia pada suatu pandangan hidup yang, meskipun hal ini secara khusus tidak disebutkan dalam undang-undang, melihat Islam sebagai agama negara. Segala sesuatu selain daripada konsep Negara Islam Indonesia, lebih lanjut, tidak akan memuaskan orang-orang Muslim, karena mereka lebih sering berada dalam situasi yang memperlihatkan besarnya peran Islam dalam masyarakat. Karena itu, “Ketuhanan Yang Mahaesa”, terutama dipahami dan diinterpretasikan sebagai konsep Islam mengenai Allah. Masalah Departemen Agama yang didominasi Islam ini juga menjadi perhatian Jend. T.B. Simatupang (purnawirawan). Beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan yang beberapa kali, selama revolusi fisik Indonesia, memegang jabatan sebagai komandan angkatan darat. Beliau juga beberapa kali memegang jabatan sebagai ketua Dewan Gereja Indonesia. Simatupang mempunyai reputasi sebagai pemimpin Kristen beraliran sosialis-demokratis yang telah berjuang bagi terwujudnya toleransi-beragama dalam konteks politik Indonesia dalam arti yang sesungguhnya. Karena itu, sepanjang pemikirannya, berdirinya Departemen Agama adalah bertentangan dengan prinsip toleransi negara dalam kaitannya dengan persoalan agama. Dan jika Departe men semacam itu hendak didirikan, maka dengan berdirinya Departe man itu harus ada jaminan toleransi. Oleh karenanya “Departemen Keagamaan” lebih cocok daripada “Departemen Agama” sebagaimana telah dikenal selama ini. Menurut Simatupang, istilah “Departeman Agama” secara literal berarti “Departe men Agama (tunggal)”, yang implikasinya hanya ada satu agama, yakni Islam, yang benar- benar diperhatikan. Menurut beliau, ungkapan ini sebenarnya berarti sebuah Departemen kepunyaan Islam; sementara ungkapan “Departemen Keagamaan”, menurut beliau, mempunyai arti yang dekat dengan ungkapan Inggris “Department of Religios Aff airs” yang memang demikian terjemahan resminya. Dengan istilah “Departemen Keagamaan”, berarti departemen bersangkutan adalah kepunyaan semua agama yang diakui secara resmi di Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha), tanpa, baik secara implisit atau eksplisit, diskriminasi terhadap salah satu dari agama-agama tersebut. Dengan mengemukakan pandangan umum di antara orang-orang non-Muslim Indonesia ini, Simatupang dan Sidjabat sebenarnya tak perlu terlalu membesar-besarkan kekhawatiran mereka menyangkut dominasi Islam terhadap negara ini. Di sini tampak bahwa menurut mereka, Pancasila dengan sendirinya bukanlah satu-satunya alat solusi bagi seluruh problem politik Indonesia dan keagamaan. Sidjabat dengan tepat melihat bahwa akar masalah tersebut terle tak pada perbedaaan antara orang-orang Muslim dan orang-orang non-Muslim tentang interpretasi mereka menyangkut, terutama, apakah arti Pancasila itu, khususnya makna yang terkandung dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Mahaesa. Pada hakikatnya, sama dengan orang-orang Muslim dalam memandang sila pertama ini sebagai pengulangan dari terminologi Islam menyangkut tauhid atau, seperti dinyatakan Max Weber, sebagai “prinsip monoteistik yang tegas” (strictly monotheistic principle), orang-orang non-Muslim, terutama orang-orang Kristen, seharusnya memandang ketuhanan dari sila pertama Pancasila ini sebagai sebuah formulasi yang netral, yang merangkul seluruh agama serta valid bagi segala bentuk ketuhanan. Karena itulah, maka menurut Sidjabat:
Apa yang kita dapati dari studi ini adalah bahwa perbedaan dalam hakikat “Weltanschauung” Islam dan “Weltanschauung” yang di tampilkan oleh “Pancasila” memunculkan ketidaksepakatan yang menampakkan diri dalam hubungan antara Islam dan negara. Ketidaksepakatan ini terutama diperbesar oleh kenetralan prinsip kemahakuasaan Tuhan di dalam konstitusi serta karakter dasar yang eksklusif dari kepercayaan Islam. Menurut pendapat orang-orang Kristen Indonesia, masalah sesungguhnya orang-orang Muslim Indonesia adalah bagaimana agar mereka seiring-sejalan dengan terminolgi semangat Pancasila sedemikian rupa seperti memandang bahwa semua agama di negara ini mempunyai hak dan status yang sama. Mereka seharusnya tidak memandang Islam, meskipun ia telah menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini, sebagai agama yang mempunyai kedudukan yang khusus ketimbang agama-agama lainnya. Selain itu, dan ini lebih penting, orang-orang Muslim seharusnya tidak melanjutkan menjunjung tinggi klaim Islam mengenai persatuan dalam aturannya antara bidang duniawi dan ukhrawi, yang dinyatakan dalam kewajiban mereka menjalankan syariat pada tingkat negara. Menurut orang-orang Kristen, setiap usaha yang bertujuan untuk menempatkan syariat pada status yang khusus di negara ini secara langsung bertentangan dengan prinsip dasar negara menyangkut kebebasan dan kenetralan beragama, yaitu prinsip yang mereka pandang berakar pada semangat Pancasila. Dan Departemen Agama karena sejak didirikannya bertanggung jawab mengawasi dan menga rahkan implementasi hukum keluarga yang berlandaskan Islam, pengadilan yang dikenal sebagai Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariat (Islamic Court), maka orang- orang Kristen berkesimpulan bahwa pada hakikatnya Islam, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah agama negara dari Republik ini. Sejalan dengan ini toleransi beragama di Indonesia dihadapkan pada masalah yang tidak kecil: Asumsi Islam tentang teori persatuan antara “gereja” dan negara telah menjadi pemicu utama ketidaksepakatan. Karena itu masalah pokok pada dasarnya terletak pada klaim eksklusif dan pluralitas agama-agama. Sebab setiap upaya yang bertu juan untuk menegakkan satu-satunya konstitusi keagamaan tertentu di negara ini, meskipun “kebe basan beragama” dise but, hanya menimbulkan intoleransi bagi yang tidak menganut agama bersangkutan, dan yang tidak dengan sendirinya mengk laim bahwa hukum agamanya harus diberlakukan di negara ini. Implikasi kemasyarakatan kodifi kasi hukum agama tak pernah kosong dari hal-hal yang dianggap intoleran oleh mereka yang tidak menganut agama bersangkutan.
0 Komentar