BUNG KARNO, SEORANG REVOLUSIONER YANG INKLUSIF

Bonnie Triyana

        Pada suatu hari, datanglah delegasi dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) ke Presiden Sukarno. Mereka menyampaikan maksud untuk membangun patung Multatuli alias Eduard Douwes Dekker penulis roman Max Havelaar yang masyhur itu. Tanpa diduga Bung Karno malah balik bertanya, “Kenapa Multatuli? Kenapa bukan patung Henk Sneevliet saja?” Tak jelas kelanjutan cerita itu sampai di mana. Beberapa pegiat Lekra memang berafiliasi dengan akademi sastra Multatuli. Apakah patung tersebut hendak didirikan berkaitan dengan akademi sastra Multatuli? Entahlah. Satu yang pasti, usulan tersebut agaknya tak pernah terwujud dan lagipula, sampai hari ini, tak pernah kita temukan di mana patung Multatuli itu berada. Begitu pula dengan patung Henk Sneevliet, gagasan Presiden Sukarno. Anjuran membangun patung Henk Sneevliet ketimbang patung Multatuli tak berarti Bung Karno sedang menempatkan Sneevliet lebih tinggi dari Multatuli, begitu pula sebaliknya. Karena pada kenyataannya pemikiran dua tokoh Belanda itu akrab dalam pikiran Bung Karno. Bukan sekali-dua Bung Karno mengutip pemikiran Multatuli dan juga Henk Sneevliet. Da- lam pidato pembelaannya yang terkenal di hadapan pengadilan negeri di Bandung pada 1930, Bung Karno mengutip Multatuli untuk menjelaskan konteks perbandingan imperialisme dengan sistem tanam paksa yang pernah berlangsung di Indonesia: “Suatu kumpulan pipa-pipa yang bercabang-cabang tidak terhitung banyaknya dan terbagi-bagi menjadi jutaan pembuluh-pembuluh kecil, semuanya bermuara dalam dada jutaan orang Jawa, semuanya berhubungan dengan induk pipa yang dipompa oleh satu pompa kuat yang digerakkan oleh uap; sedangkan dalam pengusahaan partikelir setiap pengejar untung bisa berhubungan dengan semua pipa dan bisa mempergunakan mesin pompanya sendiri untuk mengeduk sumber,”urai Bung Karno mengutip Multatuli. Sedang tentang Sneevliet, dalam pidatonya di depan Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Istana Bogor, 3 Desember 1966, Bung Karno mengaku berkenalan untuk kali pertama dengan Marxisme, salah satunya, melalui pendiri ISDV itu: “Aku, saudara-saudara, karena itu tadi aku dapat bahan dari macam-macam aliran. Bahanku bukan hanya nasionalisme, bukan hanya agama yang aku dapat dari Pak Tjokro (HOSTjokroaminoto), Pak Dahlan (KH Achmad Dahlan). Bahanku juga dari Marxisme, yang aku dapat dari Semaoen, yang aku dapat dari pemimpin-pemimpin Belanda sebagai Hartogh, Sneevliet... Sneevliet itu elek-eleko (“jelek-jelek juga”) dia itu menulis satu buku tebal...buku perjuangan rakyat Indonesia dan bagaimana seharusnya kita menghancurleburkan imperialisme di Indonesia ini,” kata dia seperti dikutip dari Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Sukarno 30 September 1965 – Pelengkap Nawaksara yang disunting oleh Bonnie Triyana dan Budi Setiyono. Dari sana kita bisa memahami bagaimana Bung Karno telah bergaul dengan berbagai pemikiran dan teori-teori sosial-politik sejak belia, terutama Marxisme. Sekaligus pula kita bisa mengerti kalau Bung Karno adalah seorang revolusioner yang inklusif: memetik nilai-nilai progresif dari sebuah ajaran, meramunya menjadi jalan politik yang ditempuhnya hingga akhir hayatnya. Ini senada dengan apa yang pernah dikemukakan Max Lane1 dalam tulisannya “Sukarno: Pembelah atau Pemersatu?” yang dimuat historia.id, bahwa sejatinya Bung Karno bukan pemersatu, tapi sebaliknya justru memilah unsur-unsur progresif dari yang non-progresif dalam ketiga aliran politik di Indonesia: Nasionalisme, Islam dan Marxisme. 

            Ketiga unsur yang progresif itu disatukan menjadi kekuatan revolusioner: samenbundeling van alle revolutionaire krachten. Dia memilah kaum Marxis yang progresif yang mau bekerjasama dengan golongan Islam dan Nasionalis. Marxis yang tidak cupet dan mengidap penyakit kiri yang kekanak-kanakan. Begitu pula dia memilah kekuatan Islam yang berpandangan maju, bukan “Islam sontoloyo” sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Bung Karno, bukan pula kalangan Islam yang masih hidup di dalam alam kebudayaan masyarakat “onta” yang membelakangi kemajuan peradaban “masyarakat kapal udara”. Bung Karno juga menghendaki agar kaum nasionalis progresif berada di dalam satu halu an yang sama dengan kedua golongan di atas. Namun bukan nasionalis semacam Hitler yang dikecam Bung Karno sebagai seorang “revolusioner yang retrogresif.”Bung Karno memegang teguh Marxisme. Karena dengan itu pula dia mampu memahami situasi dan kondisi masyarakat jajahan di alam kolonialisme. Seperti yang dikatakan oleh Rudi Hartono di dalam tulisannya yang berjudul “Bung Karno dan Marxisme”2 Marxisme membuatnya tidak rasialis di dalam memandang kolonialisme. Karena memang kolonialisme bukan semata soal dominasi kulit putih atas kulit berwarna atau ekspansi atas nama penyebaran agama. Kolonialisme adalah sistem yang diciptakan sebagai konsekuensi logis dari kaum modal yang berhasrat untuk mengakumulasi kapitalnya secara terusmenerus. Dengan sistem kolonialisme tersebut, jalan menguasai sumber daya alam dan manusia secara murah terbuka lebar. Maka dari sanalah penindasan dimulai. Dan Bung Karno sadar betul keadaan itu. Dengan kesadaran seperti itu, Bung Karno tidak menjadi seorang nasionalis sempit yang berpeluang jatuh ke dalam pemahaman yang chauvinistis lantas menjadi seorang fasis. Dia menentang nasionalisme ala Hitler yang disebutnya sebagai seorang “revolusioner yang retrogresif”, yang justru membawa Jerman pada kemunduran. Pidato 1 Juni 1945 di hadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Ke-2 Lihat artikelnya di halaman 14 buku ini merdekaan (BPUPK) menunjukkan posisi Bung Karno sebagai seorang nasionalis yang mampu melampaui sekat-sekat rasialisme dan agama untuk mendirikan negara-bangsa Indonesia. “Indonesia adalah negeri oleh semua untuk semua,” kata dia yang pada pidatonya ini mengutip pengertian nasionalisme modern dari Ernest Renan. Sementara itu sebagai seorang muslim, Bung Karno pun tak termasuk muslim yang cupet dan berpikiran sempit. Dia terbuka terhadap kemajuan dan dia siap mempertahankan pendapatnya itu. Sebagai contoh, pada 1940-an, pada masa dia masih diasingkan, Bung Karno terlibat polemik tentang donor darah yang diharamkan oleh ulama. Buat dia, donor darah itu demi kemanusiaan, tidak ada sangkut pautnya dengan agama seseorang, baik yang mendonorkan maupun penerima donornya. Dia juga pernah menggunakan kisah anjingnya sebagai tamsil peradaban umat Islam. Suatu hari anjingnya menjilat air di dalam panci. Bung Karno meminta Ratna Djuami, anak angkatnya, agar membuang air dan mencuci panci itu menggunakan sabun, bukan dibilas air tanah sebanyak tujuh kali sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad. “Islam is progress, Islam itu kemajuan, dan kemajuan itu menghasilkan ciptaan baru,” kata Bung Karno dalam artikelnya di Pandji Islam, edisi Maulud 1940. Maka benarlah apa kata Bonnie Setawan 3 di dalam artikelnya bahwa Bung Karno bukan sekadar nasionalis. Dia adalah seorang revolusioner Sosialis yang tujuan perjuangannya tidak berhenti pada kemerdekaan saja. Melainkan memahami kemerdekaan itu sebagai “jembatan emas” menuju sebuah keadaan di mana masyarakat hidup sejahtera tanpa penindasan dan penghisapan. Itulah sosialisme Indonesia yang diidam-idamkan sepanjang hayatnya. Namun setelah peristiwa 1 Oktober 1965, cita-cita tersebut perlahan-lahan dihapuskan oleh rezim Soeharto. Sosialisme bukan lagi menjadi tujuan yang utama. 

            Bahkan gerakan kiri ditumpas habis, tak hanya mereka yang komunis namun mereka yang dalam kacamata Bung Karno progresif, sebagaimana yang pernah didedahkannya, turut dihabisi. heran jika sebenarnya yang terjadi pada 1965-1966 bukan semata pembasmian kaum komunis, namun juga sebuah aksi genosida politik untuk menghilangkan kekuatan progresif dari panggung politik nasional. Apabila sering dikatakan bahwa konflik yang terjadi pada 1965-1966 adalah pembasmian kaum komunis yang tiada bertuhan dan tak percaya agama, maka cerita itu hanya isapan jempol. Belakangan ini semakin banyak kesaksian-kesaksian diterbitkan yang mematahkan dongeng buatan rezim Soeharto itu. Sebagai contoh Haji Ahmadi Moestahal, seorang santri lulusan Gontor yang turut aktif di dalam organisasi buruh namun turut pula tertangkap dan dibuang ke pulau Buru. Kisah lain dari Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, misalnya, ada sekira enam guru agama Katolik yang ditangkap pada 1969 atas tuduhan yang sama. Belum lagi kisah Sukarno-Sentris (SS) yang mengalami nasib yang sama dengan kamerad-kamerad kiri mereka lainnya. Permulaan pemerintahan Soeharto adalah awal dari “kematian” gagasan serta pemikiran Bung Karno yang lahir sejak zaman penjajahan. Sebuahgagasan maju yang tercipta karena melihat kondisi objektif masyarakat jajahan. Semenjak itu pula, sosok Sukarno hanya dikenang sebagai tokoh kemerdekaan yang pemikirannya jarang dibahas, didiskusikan dan diperdebatkan secara terbuka. Lebih parahnya lagi, ada sebagian orang yang menjadikan Bung Karno justru sebagai fosil dengan mengultuskannya. Harus diakui pesona Bung Karno memang masih sangat kuat. Dan pesona itu, dengan segala macam kisah heroik serta mitos-mitos yang menyelubunginya, justru dijadikan komodifikasi sosok Sukarno bagi kelompok politik tertentu untuk menarik massa. Dalam zaman demokrasi elektoral seperti saat ini, apapun dilakukan demi meraih suara. Maka demi keperluan politik sesaat itu, gambaran Sukarno justru diburamkan, digambarkan bahwa seakan-akan dia hanyalah seorang nasionalis tanpa pernah disebut bahwa sesungguhnya Sukarno juga adalah seorang Marxis sekaligus muslim progresif yang berpikiran jauh ke depan melampaui zamannya. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya kalau digembar-gemborkan Sukarno seorang Marxis yang mengakui mendapat pelajaran itu dari Henk Sneevliet, tokoh komunis pertama di Indonesia? Entah apa jadinya, entah berapa perolehan suara yang didapatkan. Pemburaman sejarah itu memang sudah menjadi gejala kronis semenjak era Soeharto. Apa-apa yang berbau kiri, komunis dan PKI sudah pasti masuk ke jurusan neraka. Pengajaran sejarah tak pernah diberikan secara berimbang dan jujur. Cara pandang orang Indonesia terhadap gerakan kiri, sudah hampir persis seperti cara Donald Trump, calon presiden Amerika Serikat, melihat Islam yang menyamaratakannya dengan terorisme-barbar ala ISIS. Ini sebetulnya yang tidak diinginkan oleh Bung Karno. Dalam pidatonya di Istora Senayan, 13 Februari 1966, Bung Karno mengungkapkan peran penting PKI dalam sejarah di Indonesia. “Saya tanya, ya tanya dengan terang-terangan, mana ada parpol lain, bahkan parpolku, aku pemimpin PNI, aku ya dipenjarakan, ya diasingkan, tetapi PNI pun tidak sebesar itu sumbangannya kepada kemerdekaan Indonesia daripada apa yang telah dibuktikan oleh PKI. Ini harus saya katakan dengan tegas. Kita harus adil, saudara-saudara, adil, adil, adil, sekali lagi adil,” kata Bung Karno. Ketidakadilan pengajaran sejarah semasa rezim Soeharto, telah menyebabkan terjadinya pengaburan kenyataan sejarah yang sesungguhnya. Bahkan, suatu hari beberapa tahun lampau, Joesoef Isak editor penerbit Hasta Mitra, pernah berkisah kepada saya tentang seorang politikus PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang mengatakan bahwa Bung Karno itu politikus yang nyaris sempurna, memiliki semua bakat dan keahlian. “Sayang sekali dia dekat dengan komunis,” kata politikus yang tak disebutkan namanya itu oleh Joesoef Isak. Kepada saya Joesoef berkata, “Bagaimana bisa perkataan seperti itu keluar dari mulut seorang politikus partai nasionalis. Dia tak paham sejarah,” kata Joesoef sinis. Toh dia memang benar. Gambaran Bung Karno yang dibu- ramkan selama bertahun-tahun, ditambah pengkultusan sosoknya, membuat Bung Karno berhenti sebagai foto dalam bingkai yang tergantung ditembok rumah. Gagasan-gagasannya sama sekali tak pernah dibicarakan secara luas selama bertahun-tahun. Tak pernah ada kritik terhadap Bung Karno, karena jarang orang yang mempelajarinya atau jangan-jangan takut mengkritik pemikiran Bung Karno karena sosoknya terlalu angker untuk dibicarakan secara kritis.



Posting Komentar

0 Komentar

Comments