LANJUTAN....Efektivitas kultural ini kelihatan pada perubahan pandangan hidup yang lebih mementingkan kehidupan di dunia ini (dieseitig), menghormati manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan yang memiliki keunggulan rasional. Pendeknya dalam suatu semangat humanistis yang percaya pada potensi-potensi manusiawi, kegairahan untuk terus menerus mencari tahu (proses belajar terus-menerus), dengan tekanan perhatian pada ketelitian dan kecermatan pengamatan. Caracara baru dalam proses belajar ini kemudian dilindungi oleh keluarga-keluarga yang penuh kuasa dan tokoh-tokoh berpengaruh pada masa itu seperti Ludovico Sforza dari Milan, Alfonso dari Napels dan terutama keluarga Medici dari Florence, yang berkuasa ketika Machiavelli hidup.Perlahan-lahan Gereja Katolik Abad Pertengahan kehi langan otoritas nya yang absolut. Sesudah otoritas gerejani dirongrong oleh gerakan skisma dan heresi (gerakan menen tang otoritas di bidang ajaran iman dan moral Katolik), bangkit pula gerakan-gerakan nasionalisme dan terbentuk negara-negara nasional di Italia, yang melemahkan kewiba waan negara kepausan. Lambat laun nilai-nilai kristiani Abad Pertengahan kehilangan pengaruhnya, karena tidak mampu lagi memaknakan semangat baru yang lebih memusatkan perhatian pada cara-cara mencapai kebahagiaan di dunia ini, daripada kebahagiaan alam baka seperti dihimbau oleh ajaran tradisional. Sebaliknya Gereja berjuang untuk mengembalikan peranan yang selama itu sudah dimainkan, tetapi tidak pernah berhasil.Gerakan monastisisme yang dipimpin oleh tokoh-tokoh religius dengan mendirikan biara-biara untuk menumbuhkan semangat asketisme (gerakan melupakan diri, pengorbanan sebagai sarana untuk menyempurnakan diri sebagai syarat untuk memasuki kebahagiaan di alam baka) tidak pernah menjadi gerakan budaya yang dominan lagi, karena tidak mampu membendung gerakan sekularistis (menumbuhkan kebahagiaan dengan menghayati nilai-nilai kehidupan dunia ini dengan segala keindahan dan kepuasan lainnya) yang melanda penduduk kota-kota yang semakin bertambah kaya dan makmur, yang dipelopori oleh seniman, pedagang, usahawan, para penguasa sebagai pembesar-pembesar kota (city boss). Nilai-nilai sekular seperti kekayaan, kekuasaan, keindahan, kemewahan diterima sebagai unsur-unsur konstitutif dari kebahagiaan hidup yang dikejar selama seorang hidup. Semangat mengejar kebahagiaan yang bersifat sekular ini semakin merasuk sendi-sendi kehidupan masyarakat Barat dan seakan-akan tak terbendung oleh gerakan asketisme, yang terarah ke kebahagiaan di dunia "sana" (jenseitig).
Salah seorang perintis reformasi, yang ingin membendung semangat sekularistis pada masa Renaissance adalah Girolamo Savoranola (1452-1598), yang pada tahun 1491 menjadi pemimpin biara Dominikan di kota Florence, kota kelahiran Machiavelli. Biarawan atau rohaniwan ini terkenal sebagai seorang pengkhotbah yang dinamis dan salah seorang tokoh spiritual zamannya, yang memperjuangkan suatu reformasi di bidang kehidupan spiritual tidak hanya terbatas pada rekanrekan sebiaranya, tetapi meluas ke luar biara dan memasuki kehidupan gerejani secara keseluruhan. Bagaikan seorang nabi dari bangsa Israel dahulu kala, Savoranola lewat khotbah khotbahnya mulai menghardik seluruh lapisan masyarakat Florence karena ketidaksetiaan mereka terhadap semangat fundamental kekristenan, yang semakin merosot pada waktu itu. Ia meramalkan datangnya malapetaka dan kehancuran Italia, bila gerakan reformasi spiritual tidak dilaksanakan. Rakyat Florence pada mulanya mulai tertarik lagi dengan ajaran-ajaran pembaharuan dari sang nabi dengan pendekatan moralistis itu. Kesadaran rakyat banyak terbakar karena pidato-pidato Savoranola. Dengan bantuan Charles VIII dari Prancis, Savoranola berhasil mengusir penguasa kota Florence waktu itu, yakni Lorenzo dan putranya Piero de' Medici. Keluarga Medici melarikan diri ke Spanyol dan Savoranola, sang moralis, mulai memerintah kota Florence, mengikuti pola manajemen kekuasaan para nabi, dengan seperangkat nilai-nilai moral-spiritual sebagai landasan hukumnya. Rakyat kota Florence diajak menjalani pertobatan, dengan mematikan segala keinginan duniawi ke arah kemewahan, keindahan, kekuasaan. Savoranola menganggap dirinya hanya wakil dari raja Florence yang sebenarnya, yang adalah Yesus Kristus sendiri. Dengan khotbah dan tentara bayaran, Savoranola memerintah kota Florence. Savoranola menjadi sangat populer di mata rakyat Florence. Tetapi popularitas tokoh moralis ini tidak bertahan lama, karena rakyat lekas jemu dan bosan dengan kepemimpinannya yang dinilai teramat keras. Rakyat ingin perubahan.
0 Komentar