Teknologi Bioflok: Teori dan Aplikasi dalam Perikanan Budidaya Sistem Intensif

       Dalam The State of Fisheries and Aquaculture 2008, FAO melaporkan bahwa akuakultur merupakan salah satu sektor produksi pangan yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi di dunia, mencapai 8,7% per tahun sejak tahun 1970. Kontribusi akuakultur terhadap produksi perikanan dunia juga terus menunjukkan peningkatan, pada tahun 2006 sektor ini telah memberikan kontribusi mencapai 47% dibandingkan tahun 1950 yang hanya 3%. Seiring dengan menurunnya produksi perikanan tangkap maka tidaklah mengherankan jika sektor akuakultur kemudian diharapkan dapat menjadi suplier utama produk-produk perikanan dunia. 

       Menghadapi    peluang    ini    akuakultur dihadapkan pada beberapa tantangan terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam. Terbatasnya sumber daya alam seperti air dan lahan, menjadikan intensifikasi sebagai pilihan yang paling memungkinkan dalam meningkatkan produksi budidaya. Berbagai upaya untuk mengembangkan pcrikanan budidaya terutama sistem intensif hingga kini masih terus dilakukan mengingal sistem ini masih terkendala oleh berbagai masalah diantaranya buangan limbah akuakultur, penggunaan tepung ikan sebagai bahan baku pakan buatan scrta penyebaran penyakit (FAO, 2007). Permasalahan utama dalam akuakultur sistem intensif telah menarik perhatian tidak hanya  para pelaku  kegiatan    akuakultur tetapi    juga    para stakeholder lainnya seperti para pemerhati lingkungan (Allsopp et al., 2008). Lebih jauh lagi, penerapan best aquaculture practices dalam sertifikasi produk akuakultur yang diekspor, mensyaratkan praktek akuakultur yang ramah lingkungan. Sehingga perkembangan teknologi akuakultur saat ini difokuskan pada pemecahan masalah tersebut di atas. Intensifikasi tentunya membutuhkan lebih banyak input produksi terutama benih dan pakan serta sistem manajemen yang lebih baik. Pada sistem budidaya intensif, keberadaan dan ketergantungan terhadap pakan alami sangat dibatasi, sehingga pakan buatan menjadi satu-satunya sumber makanan bagi organisme yang dipelihara (Tacon, 1987), Organisme akuatik umumnya membutuhkan protein yang cukup tinggi dalam pakannya. Namun demikian organism akuatik hanya dapat meretensi protein sekitar 20 - 25% dan selebihnya akan terakumulasi dalam air (Stickney, 2005). Metabolisme protein oleh organisme akuatik umumnya menghasilkan ammonia sebagai hasil ekskresi. Pada saat yang sama protein dalam feses dan pakan yang tidak termakan akan diuraikan oleh bakteri menjadi produk yang sama. Dengan demikian semakin intensif suatu kegiatan budidaya akan diikuti dengan semakin tingginya konsentrasi senyawa nitrogen terutama ammonia dalam air (Avnimelech, 2007). Agar tidak membahayakan organisme yang dibudidayakan, maka konsentrasi ammonia dalam media budidaya harus dibatasi. Pergantian air merupakan metoda yang paling umum dalam membatasi konsentrasi ammonia dalam air. Namun demikian metoda ini membutuhkan air dalam jumlah besar serta dapat mencemari lingkungan pcrairan sekitar jika air yang dibuang tidak diberi perlakuan lebih lanjut. Seiiring dengan berkembangnya akuakultur sistem intensif berbagai teknik pengolahan air untuk mengurangi konsentrasi ammonia dalam media budidaya telah dikembangkan salah satunya adalah teknologi bioflok. Artikel ini bertujuan untuk mengulas berbagai aspek dalam teknologi bioflok mulai dari teori hingga aplikasinya dalam kegiatan akuakultur. 

Nitrogen dalam sistem akuakultur

Nitrogen dalam sistem akuakultur terutama berasal dari pakan buatan yang biasanya mengandung protein dengan kisaran 13 - 60% (2 - 10% N) tergantung pada kebutuhan dan stadia organisme yang dikultur (Avnimeleeh & Ritvo, 2003; Gross & Boyd 2000; Stickney, 2005). Dari total protein yang masuk ke dalam sistem budidaya, sebagian akan dikonsumsi oleh organisme budidaya dan sisanya terbuang ke dalam air. Proses metabolisme pakan yang dikonsumsi dalam tubuh organisme budidaya kemudian akan menghasilkan biomasa dan sisa metabolisme berupa urine dan feses. Protein dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total nitrogen dalam pakan dimanfaatkan menjadi biomasa ikan (Brune et al., 2003). Katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik menghasilkan ammonia sebagai hasil akhir dan diekskresikan dalam bentuk ammonia (NH3) tidak terionisasi melalui insang (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Pada saat yang sama, bakteri memineralisasi nitrogen organik dalam pakan yang tidak termakan dan feses menjadi ammonia (Gross and Boyd, 2000). Sebagai akibat dari berlangsungnya kedua proses ini, aplikasi pakan berprotein tinggi dalam sistem budidaya akan menghasilkan akumulasi ammonia baik sebagai hasil ekskresi dari organisme yang dikultur maupun hasil mineralisasi bakteri. Dalam air, ammonia berada dalam dua bentuk yaitu ammonia tidak terionisasi (NH3) dan ammonia terionisasi (NH4+). Jumlah total kedua bentuk ammonia ini disebut juga dengan total ammonia nitrogen atau TAN (Ebeling et al., 2006). Konsentrasi relatif dari kedua bentuk ammonia terutama tergantung pada pH, temperatur dan salinitas. Keberadaan ammonia tidak terionisasi di dalam media budidaya sangat dihindari karena bersifat toksik bagi organisme akuatik bahkan pada konsentrasi yang rendah. Stickney (2005) menyatakan bahwa konsentrasi ammonia dalam media budidaya harus lebih rendah dari 0,8 mg/L. Dalam sistem akuakultur, secara alami terjadi siklus nitrogen dalam air (Gambar 1) dengan  input  nitrogen paling utama berasal dari pakan buaian (Crab et al., 2007). Dari sejumlah pakan yang dimasukkan kc kolam, sebagian tidak termakan oleh ikan, sementara pakan yang dikonsumsi sebagian dikonversi mcnjadi biomasa ikan dan sebagian lagi diekskresikan sebagai ammonia atau dikeluarkan sebagai feses. Pakan yang tidak termakan dan feses akan tcrdckomposisi oleh bakteri yang diikuti dengan pelepasan ammonia yang kemudian terakumulasi dalam air bersaraa dengan hasil ekskresi ikan. Melalui peranan bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi yang terdapat dalam air dan sedimcn, TAN dalam air kemudian dapat ditransformasi menjadi nitrit, nitrat dan gas nitrogen (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Selain itu TAN dan nitrat dapat diasimilasi oleh fitoplankton atau tanaman yang terdapat dalam air yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh organisme budidaya yang memang dapat memanfaatkannya. Secara garis besar ketiga proses alami konversi N tersebut dikelompokkan menjadi tiga yaitu konversi secara fotoautotrofik oleh alga dan tanaman air, secara kemoautotrofik melalui oksidasi oleh bakteri nitrifikasi dan immobilisasi secara heterotrofik oleh bakteri heterotrof (Ebeling et al., 2006). Crab et at. (2007) menyatakan bahwa eliminasi kelebihan N terutama ammonia, nitrit dan nitrat dalam sistem budidaya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu eliminasi N di luar wadah budidaya dan di dalam wadah budidaya. Eliminasi N di luar wadah budidaya dibedakan menjadi beberapa jenis seperti kolam perlakuan (atau reservoir) dan kombinasi bak sedimentasi dan bak nitrifikasi (biofilter). Sementara eliminasi N dalam wadah budidaya dilakukan dengan prinsip utama konversi N oleh bakteri heterotrof dan fitoplankton. Dua metoda eliminasi N dalam media budidaya yang sedang berkembang adalah sistem perifiton dan teknologi bioflok (Biofloc Technology, BFT).

Posting Komentar

0 Komentar

Comments